Pelaksanaan pembangunan pada tiga tahun pertama Repelita VI menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang melampaui target yang telah ditetapkan. Laju pertumbuhan ekonomi selama tiga tahun tersebut mencapai 7,5% pada tahun 1994, 8,2% pada tahun 1995, dan 7,6% pada tahun 1996. Dengan laju pertumbuhan tersebut, maka pendapatan per kapita Indonesia pada tahun 1995 telah mencapai sekitar US $ 1.000 (berdasarkan harga berlaku). Tingkat inflasi juga menunjukkan kecenderungan yang menggembirakan. Sejak tahun 1994, laju inflasi terus menurun dari 9,2% menjadi 8,6% pada tahun 1995, dan menurun lagi menjadi 6,47% pada tahun 1996. Namun demikian, hasil pembangunan yang menimbulkan rasa optimisme dan percaya diri tersebut perlu dibarengi dengan sikap hati-hati dan waspada.
Pada tahun anggaran 1997/98, berbagai peristiwa penting beserta tantangannya baik bersumber dari dalam negeri dan luar negeri akan dihadapi. Dari dalam negeri, pada tahun 1997 dilaksanakan pemilihan umum, yang kemudian disusul dengan Sidang Umum MPR pada tahun 1998 yang akan menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), dan memilih presiden dan wakil presiden. Ketiga peristiwa penting tersebut akan memberikan suasana baru bagi kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia dalam memasuki abad 21. Dari luar negeri, sebagai konsekuensi globalisasi ekonomi dunia, Indonesia dihadapkan pada kompetisi pasar bebas yang mengharuskan Indonesia untuk lebih mandiri dan mampu bersaing dengan negara lain khususnya di bidang ekonomi.
Dalam menghadapi era globalisasi dan perdagangan bebas, kemandirian daerah dalam mengelola pembangunan perlu mendapat perhatian. Negara yang kuat adalah negara yang memiliki daerah-daerah yang makmur. Karena itu, dalam sebuah negara besar yang memiliki banyak daerah seperti Indonesia, otonomi harus benar-benar dilaksanakan. Melalui otonomi ini, interaksi daerah-daerah yang berada dalam satu negara dengan dunia luar menjadi sangat penting. Saat ini, lokasi perkembangan bisnis tidak lagi hanya terjadi di daerah yang strategis. Lokasi yang terpencilpun bisa menjadi potensi pertumbuhan ekonomi yang besar.
Pada pembangunan jangka panjang (PJP) tahap II, kemandirian daerah dalam mengelola pembangunan seperti diamanatkan dalam GBHN 1993 akan semakin berperan. Peranan keuangan pemerintah pusat dalam membiayai pembangunan daerah seyogyanya semakin berkurang. Sejarah mencatat bahwa kemandirian daerah sangat diperlukan. Resesi ekonomi dunia pada akhir dasawarsa 1970-an dan awal dasawarsa 1980-an, serta surutnya era minyak dapat menjadi salah satu penyebab berkurangnya kemampuan pemerintah pusat. Namun di sisi lain, kemampuan daerah untuk membiayai sendiri pembangunan wilayahnya masih banyak mengalami kendala seperti antara lain rendahnya kemampuan daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Untuk itu, sejalan dengan kebijaksanaan peningkatan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah dalam Repelita VI, peningkatan kemampuan aparatur, kelembagaan dan keuangan daerah senantiasa diupayakan.
Pemerintahan di daerah yang bersifat otonom adalah konsekuensi dari pelaksanaan azas desentralisasi, selain azas dekonsentrasi dan pembantuan yang dilaksanakan di Indonesia. Dalam rangka pelaksanaan azas desentralisasi tersebut, berdasarkan pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1974 disusun daerah otonom tingkat I (dati I) dan daerah otonom tingkat II (dati II). Sebagaimana tercantum pula dalam undang-undang tersebut, yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Atas dasar itu, pemerintah daerah memiliki kewenangan yang cukup luas untuk mengembangkan potensi serta kemampuan perekonomian daerah. Agar daerah otonom dapat mengurus rumah tangganya sendiri dengan sebaik-baiknya, maka kepada daerah tersebut diberikan sumber-sumber pembiayaan yang cukup. Namun mengingat tidak semua sumber pembiayaan dapat diberikan kepada daerah, maka daerah diwajibkan pula untuk menggali sumber-sumber keuangan yang lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian pemerintah daerah otonom dapat merencanakan penerimaan dan belanja sendiri, termasuk menerapkan berbagai ketentuan di bidang retribusi dan perpajakan, sesuai dengan kebijaksanaan dan aspirasi daerahnya. Namun UU Nomor 5 Tahun 1974 juga mengatur bahwa apabila setelah dibina dan dibimbing serta diberi kesempatan seluas-luasnya ternyata suatu daerah tidak mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, dan hanya menggantungkan hidupnya dari subsidi Pemerintah, maka adalah wajar bila daerah yang sedemikian itu dihapuskan.
Kebijaksanaan penyusunan rancangan anggaran, dalam hal ini Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tingkat I, pada dasarnya tetap mengacu pada berbagai kebijaksanaan dan ketentuan yang berlaku secara nasional, selain arahan dan kebijaksanaan pembangunan daerah yang bersangkutan dengan memperhatikan prioritas pembangunan, kebutuhan, aspirasi dan potensi daerah. Perkembangan arus globalisasi serta sistem perdagangan yang berlaku sekarang juga perlu menjadi acuan pemerintah daerah dalam merencanakan kegiatan pembangunan beserta anggarannya.
Setiap tahun, rencana kegiatan dan pembiayaan penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan daerah otonom dituangkan dalam dokumen yang disebut dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Seyogyanya, seluruh rencana penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah yang akan dilaksanakan pada tahun anggaran berjalan tercatat dalam APBD sebagai salah satu dokumen anggaran tahunan. Dengan demikian, APBD dapat menjadi cerminan kinerja dan kemampuan pemerintah daerah, khususnya dalam membiayai dan mengelola penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di daerah masing-masing pada suatu tahun anggaran.
Untuk mengetahui kinerja dan kemajuan pembangunan daerah di masing-masing dati I serta keselarasannya dengan rencana dan prioritas pembangunan daerah, perlu dilakukan analisis terhadap APBD masing-masing dati I. Materi penulisan analisis mengenai tinjauan umum APBD tingkat I tersebut bersumber dari APBD tingkat I tahun anggaran 1997/98 masing-masing propinsi yang telah ditetapkan melalui peraturan daerah (perda).
Untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif mengenai kemampuan dati I, khususnya mengenai kemampuan keuangannya, analisis terhadap APBD tingkat I tersebut di atas akan dibahas secara rinci untuk masing-masing pendapatan dan belanja dati I secara umum. Di samping itu, akan diulas gambaran kemampuan daerah dalam membiayai pelaksanaan pembangunan di daerah yang bersangkutan, dikaitkan dengan indikator pertumbuhan ekonomi daerah seperti antara lain perkembangan produk domestik regional bruto (PDRB) serta perkembangan investasi pemerintah dan masyarakat. Analisis secara komprehensif tersebut akan disajikan pada bagian I.
Dari tinjauan umum tersebut di atas mulai tahun ini akan dilakukan analisis kemampuan keuangan masing-masing dati I yang merupakan pembaharuan dari tinjauan umum APBD tingkat I yang lalu. Analisis rinci untuk masing-masing propinsi akan disajikan dalam bagian II buku ini. Dengan semakin lengkapnya informasi dan analisis yang disajikan dalam tinjauan umum APBD tingkat I tahun 1997/98 ini, buku ini diharapkan dapat menjadi informasi yang berguna bagi pengambilan kebijaksanaan, khususnya untuk meningkatkan kemampuan keuangan dati I.
Sistem Anggaran di Indonesia
Sebagamana diketahui, sistem pemerintahan di Indonesia menganut azas dekonsentrasi, desentralisasi, dan pembantuan (medebewind). Dengan demikian sistem anggaran di Indonesia juga mencerminkan pelaksanaan azas-azas pemerintahan tersebut. Setiap tahunnya, penganggaran dilakukan melalui mekanisme perencanaan pembangunan dari atas ke bawah (top-down planning) dan dari bawah ke atas (bottom-up planning). Perencanaan operasional tahunan yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ini merupakan penjabaran dari pokok-pokok kebijaksanaan yang telah ditetapkan dalam dokumen Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), yang telah mengacu kepada GBHN. GBHN merupakan wujud pernyataan kehendak rakyat yang ditetapkan oleh MPR setiap lima tahunnya. Dengan demikian maka penganggaran merupakan suatu bentuk pertanggungjawaban politik yang utama dari pelaksanaan demokrasi.
Berdasarkan Richard Goode, ada beberapa tujuan dari penganggaran. Pertama, penganggaran merupakan penjabaran kerangka kerja dari kebijaksanaan yang telah ditetapkan. Kedua, penganggaran merupakan alat implementasi dari kebijaksanaan tersebut, yang merupakan standar dari ekonomi dan efisiensi. Penganggaran merupakan alat manajemen dan sekaligus prosedurnya merupakan alat kontrol administrasi. Ketiga, penganggaran merupakan alat kontrol hukum. Keempat, dokumen anggaran dapat merupakan sumber informasi bagi masyarakat luas mengenai kegiatan yang telah dilakukan, keputusan yang diambil, dan gambaran yang akan datang mengenai kegiatan pembangunan.
Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1974, tahun anggaran daerah sama dengan tahun anggaran negara. Setiap tahunnya, selambat-lambatnya tiga bulan setelah ditetapkannya APBN oleh DPR, APBD juga ditetapkan melalui perda oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). APBD yang telah ditetapkan tersebut dilaksanakan setelah disahkan oleh pejabat yang berwenang. Untuk APBD tingkat I, pejabat tersebut adalah Menteri Dalam Negeri (Mendagri), sedangkan APBD tingkat II disahkan oleh gubernur.
diagram sistem perencanaan (diagram 1, hal. 5)
Mekanisme Penyusunan APBD
Mekanisme penyusunan APBD dilaksanakan melalui 3 tahap yaitu penetapan, perubahan dan perhitungan APBD.
Jika dibandingkan dengan tahun yang lalu, proses penetapan APBD tingkat I tahun anggaran 1997/98 lebih cepat. Penetapan Perda APBD tercepat dilakukan oleh Propinsi DKI Jakarta dan Bali. Sementara itu, daerah yang paling lambat menyampaikan rencana APBD-nya ke pusat adalah Propinsi Sumatera Selatan yang baru diterima di Jakarta pada tanggal 10 April 1997 dan Propinsi Timor Timur pada tanggal 11 April 1997. Pembahasan APBD tingkat I yang terakhir pada tahun ini adalah untuk Propinsi Lampung yaitu pada tanggal 24 Mei 1997.
Beberapa penyebab terjadinya perubahan rencana APBD antara lain adalah adanya perbedaan antara perencanaan dengan realisasi/pelaksanaan akibat perubahan harga, pengurangan dan penambahan volume pekerjaan, dan berbagai sebab lainnya yang menyebabkan pergeseran anggaran. Namun demikian, pada tahap perubahan ini tetap tidak dimungkinkan adanya perencanaan program/proyek/kegiatan fisik baru. Hal ini mengingat waktu antara proses pengesahan dan pelaksanaannya sangat singkat sehingga dapat mengakibatkan pekerjaan tersebut tidak selesai pada tahun anggaran yang bersangkutan. Perubahan APBD tersebut ditetapkan dengan perda.
Pada tahun anggaran 1997/98, jumlah
APBD tingkat I seluruh dati I adalah sebesar Rp 13,3 triliun, atau meningkat
sebesar 9,7% dibandingkan dengan APBD tingkat I tahun anggaran 1996/97
(Tabel 1). Peningkatan tersebut sangat kecil jika dibandingkan kenaikan
yang terjadi pada tahun lalu sebesar 20,3%. Sedangkan jika dibandingkan
dengan jumlah APBD tingkat I pada awal Repelita VI (1994/95), jumlah APBD
tingkat I tahun 1997/98 hanya meningkat sebanyak 1,6 kali. Hal ini dapat
diartikan adanya kehati-hatian (atau pesimisme?) daerah dalam merencanakan
anggarannya.
Pada Grafik 1 dapat dilihat perbandingan laju pertumbuhan rata-rata tahunan antara rencana dan realisasi APBD I selama kurun waktu 1989/90-1995/96. Pada periode 1989/90-1990/91, laju pertumbuhan APBD I baik rencana maupun realisasi cukup tinggi yaitu berturut-turut sebesar 23,7% dan 25,4%. Namun pada periode berikutnya laju pertumbuhan rencana APBD I menurun tajam dan mulai meningkat lagi pada periode 1994/95.
Perbedaan yang cukup besar antara laju pertumbuhan rencana dan realisasi APBD I pada tahun tersebut antara lain karena adanya tambahan jenis atau komponen bantuan dalam bantuan pembangunan kepada daerah pada awal Repelita VI. Adanya tambahan jenis atau komponen bantuan tersebut, dan beberapa penyempurnaan kebijaksanaan pembangunan daerah diantisipasi "terlalu" positif oleh pemerintah daerah yang merencanakan pendapatannya pada tahun 1995/96 meningkat 15,8% dari tahun anggaran sebelumnya. Namun realisasi menunjukkan pendapatan daerah yang lebih rendah dari yang direncanakan. Hal ini disebabkan antara lain oleh berkurangnya sumber pendapatan daerah lainnya seperti pajak dan retribusi.
Selama empat tahun pelaksanaan Repelita VI, laju pertumbuhan rencana APBD I adalah sebesar 16,2%. Besarnya laju pertumbuhan ini terutama disebabkan oleh meningkatnya belanja pembangunan yang selama kurun waktu tersebut meningkat sebesar 18,9%. Sedangkan laju pertumbuhan rata-rata pertahun belanja rutin hanya sebesar 14,8%.
diagram sistem anggaran (diagram2, hal 9)
PENDAPATAN DAERAH TINGKAT I
Upaya peningkatan kemampuan daerah senantiasa dilakukan sejalan dengan kebijaksanaan pelaksanaan otonomi daerah yang semakin nyata, dinamis, serasi, dan bertanggungjawab. Berbagai alokasi dana pembangunan juga diarahkan untuk mengurangi kesenjangan antardaerah. Daerah yang kurang maju semakin dipacu untuk mengejar ketertinggalannya, sementara daerah yang lebih maju diupayakan untuk ditingkatkan.
Dalam rangka pemerataan dan penyelarasan pembangunan antardaerah tersebut, dikembangkan kebijaksanaan bantuan pembangunan kepada daerah (program Inpres) yang besar dan jenisnya semakin bertambah dan disempurnakan. Dalam pendapatan APBD Tingkat I, alokasi bantuan pembangunan daerah senantiasa menjadi kontribusi terbesar. Demikian pula pada tahun anggaran 1997/98, besarnya kontribusi bantuan serta subsidi pembangunan daerah dari pusat mencapai 51,7% dari total pendapatan. Meskipun demikian, kontribusi tersebut secara nasional sedikit menurun dibandingkan dengan kontribusi tahun sebelumnya sebesar 53,5%. Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan daerah kepada pusat, khususnya dalam hal keuangan semakin berkurang.
Sejalan dengan semakin beragam dan meningkatnya kebutuhan pelayanan kepada masyarakat, kebutuhan dana untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan daerah terus meningkat. Namun di sisi lain, peningkatan penerimaan daerah tidak secepat peningkatan kebutuhan pelayanan masyarakat. Sehingga kalau hanya mengandalkan penerimaan daerah, kebutuhan pelayanan masyarakat sulit dipenuhi. Oleh sebab itu, sebagai salah satu alternatif untu mengatasi masalah keterbatasan dana tersebut, perlu dikembangkan partisipasi masyarakat seperti antara lain melalui proyek atau kegiatan kemitraan pemerintah daerah dengan pihak swasta, terutama dalam penyediaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana dasar dan ekonomi. Tersedianya sarana dan prasarana tersebut dapat menjadi daya tarik bagi penanaman investasi di daerah.
Memasuki era globalisasi, pemerintah daerah dituntut untuk dapat menciptakan iklim yang merangsang investor menanamkan modalnya di daerah dan mendukung dunia usaha untuk dapat meningkatkan daya saing baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri. Salah satu strategi yang dapat dilakukan pemerintah daerah dalam meningkatkan daya saing adalah dengan mengoptimalkan efisiensi dan efektivitas pendapatan daerah, yaitu antara lain melalui rasionalisasi pungutan daerah baik berupa pajak daerah maupun retribusi daerah. Rasionalisasi terhadap pajak daerah dan retribusi daerah seyogyanya mengarah kepada sistem perpajakan dan retribusi daerah yang sederhana dan efisien serta dapat menggerakkan masyarakat dalam membiayai pembangunan daerah. Dengan rasionalisasi tersebut, diharapkan dapat mengurangi jumlah jenis pajak dan retribusi, mengefektifkan jenis-jenis pajak dan retribusi yang potensial, dan meningkatkan efisiensi dalam pemungutannya, Upaya tersebut pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan daerah, baik di dati I maupun dati II dan mendukung penciptaan iklim yang menarik investor untuk menanamkan modal di daerah.
Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1974 pasal 55, yang dimaksud dengan sumber pendapatan daerah terdiri atas:
a. pendapatan asli daerah sendiri (PADS) yang meliputi :
$ hasil retribusi daerah,
$ hasil perusahaan daerah, dan
$ lain-lain usaha daerah yang sah
$ sumbangan-sumbangan lain yang diatur dengan peraturan perundang-undangan
Untuk menghindarkan kesalahpahaman, yang dimaksud dengan pendapatan asli daerah dalam buku ini adalah sama dengan pendapatan asli daerah sendiri yang terdiri atas hasil pajak daerah, retribusi daerah, perusahaan daerah, dan lain-lain usaha daerah yang sah.
Pada APBD, terdapat dua sisi penganggaran yaitu sisi pendapatan dan belanja. Pada bab ini akan diuraikan sisi pendapatan secara terinci berdasarkan jenis pendapatan yang terdiri atas 1) sisa lebih perhitungan tahun lalu, 2) PAD, 3) bagi hasil pajak dan bukan pajak, 4) sumbangan dan bantuan, serta 5) penerimaan pembangunan.
Pada tahun anggaran 1997/98, total sisa lebih anggaran tahun lalu adalah Rp468,1miliar atau 3,5 % dari total pendapatan. Besarnya persentase tersebut lebih kecil dibandingkan tahun lalu yang porsinya sebesar 4,4% dari total pendapatan. Hal ini menunjukkan semakin tepatnya daerah dalam merencanakan pendapatan dalam APBD. Dari Tabel 3 terlihat bahwa dari total sisa lebih anggaran tahun lalu propinsi-propinsi di kawasan barat Indonesia (KBI) jauh lebih besar (88,7 %) dibandingkan sisa lebih propinsi-propinsi di kawasan timur Indonesia (KTI). Propinsi yang memiliki sisa lebih anggaran tahun lalu cukup besar adalah propinsi yang memiliki APBD tingkat I yang besar pula. Propinsi-propinsi tersebut adalah DKI Jakarta yang sisa lebih akhir tahunnya sebesar Rp236,6 miliar atau 50,5 % dari total APBD Tingkat I-nya. Selain itu, APBD tingkat I Jawa Timur juga memiliki sisa lebih yang besar yaitu Rp50,6 miliar atau 10,8 % dari total APBD Tingkat I-nya. Di propinsi lainnya besarnya persentase anggaran sisa lebih berkisar antara 0% - 7,9%. Penyebab besarnya persentase anggaran sisa lebih di propinsi-propinsi yang mampu seperti DKI Jakarta dan Jawa Timur perlu dikaji lebih lanjut karena besarnya anggaran sisa lebih tahun lalu dapat mengindikasikan efisiensi dan efektivitas propinsi yang bersangkutan dalam merencanakan penerimaan dan belanjanya.
Dibandingkan dengan negara-negara lain, persentase PAD terhadap total pendapatan dati I di Indonesia relatif kecil. Berdasarkan data IMF Government Finance Statistics, 1985, besarnya persentase penerimaan daerah sendiri terhadap total pendapatan di beberapa negara antara lain adalah sebagai berikut: Philipina 31% (1976), Thailand 54% (1983), Malaysia 80% (1981), India 59% (1982), Pakistan 89% (1979), Brazil 82% ( 1983), Inggris 55% (1983), Perancis 57% (1983), dan Amerika Serikat 78% (1983).
Sebagaimana tahun 1996/97, komposisi propinsi yang mampu adalah yang berada di Pulau Jawa dengan perbedaan yang cukup besar, terlebih dibandingkan dengan propinsi di luar Jawa. Propinsi yang PADnya terbesar adalah DKI Jakarta yang peranannya terhadap total PAD secara nasional sebesar 43,8%. Walaupun nilai absolut meningkat, namun pangsa PAD DKI dari total PAD secara nasional tersebut menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Propinsi lainnya yang memiliki PAD cukup besar adalah Jawa Barat dan Jawa Timur dengan pangsa terhadap total PAD secara nasional berturut-turut sebesar 13% dan 10,4%. Sementara pangsa PAD propinsi lainnya terhadap total PAD secara nasional berada jauh di bawah propinsi-propinsi tersebut di atas.
Membandingkan PAD dengan total penerimaan setiap propinsi dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah yang sebenarnya. Seperti misalnya DKI Jakarta yang pangsa PAD terhadap total penerimaannya adalah sebesar 63,1%. Perlu pula dicatat bahwa pangsa PAD dalam APBD tingkat I Propinsi Bali juga cukup besar yaitu meningkat dari 49,7 % pada tahun 1996/97 menjadi 50,6% pada tahun 1997/98. Walaupun di beberapa propinsi menunjukkan peningkatan peranan PAD, namun secara nasional, besarnya pangsa PAD dalam total APBD tingkat I hanya sebesar 35%.
Berbagai upaya yang dilakukan untuk memperbesar penerimaan daerah pada prinsipnya dapat meningkatkan tabungan pemerintah daerah dalam membiayai kegiatan perekonomian dan pembangunan di daerah yang kebutuhannya juga semakin besar. Dengan mengetahui besarnya PAD dari suatu propinsi, kita dapat mengetahui pula kemampuan pemerintah daerah dalam melayani masyarakat. Dari data PAD per kapita, terlihat bahwa propinsi yang memiliki kemampuan tinggi dalam membiayai pelayanan pemerintahan per penduduk adalah DKI Jakarta dengan PAD sekitar Rp214 ribu per kapita. Propinsi lainnya yang PAD perkapitanya cukup besar adalah Kalimantan Timur yaitu sebesar Rp33 ribu dan Bali sebesar Rp30 ribu. PAD perkapita propinsi lainnya berada jauh di bawah propinsi-propinsi tersebut. Berikut ini penjelasan PAD dirinci berdasarkan jenis PAD.
Pada ketentuan peralihan UU Nomor
18/1997 terdapat ketentuan bahwa peraturan daerah tentang pajak yang telah
ada dan terkait dengan UU tersebut, masih tetap berlaku sebelum diberlakukannya
Peraturan Daerah yang baru berdasarkan UU tersebut. Oleh sebab itu, pajak
daerah yang diulas dalam buku ini masih mengacu kepada ketentuan perpajakan
daerah yang lama yaitu ketentuan pajak daerah yang diatur oleh UU No. 32
Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan Antara Negara Dengan Daerah-daerah
Yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya Sendiri, UU No. 11 Drt Tahun 1957
tentang Peraturan Umum Pajak Daerah, Perpu No. 27 Tahun 1959 tentang Bea
Balik Nama Kendaraan Bermotor, UU No. 10 Tahun 1968 tentang Penyerahan
Pajak-pajak Negara, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bangsa Asing
dan Pajak Radio kepada Daerah, dan berbagai peraturan perundang-undangan
lainnya.
Dalam PAD tingkat I, peranan pajak
senantiasa yang terbesar. Pada tahun 1997/98, peranan pajak dalam PAD tingkat
I secara nasional adalah 79,3%. Jenis pajak yang mempengaruhi besarnya
kontribusi tersebut dan menjadi andalan hampir semua daerah adalah pajak
balik nama kendaraan bermotor dan pajak kendaraan bermotor yang peranannya
dalam penerimaan pajak secara nasional berturut-turut sebesar 42,5% dan
24,5% dari total PAD Tingkat I. Propinsi yang penerimaannya dari kedua
jenis pajak tersebut cukup besar adalah propinsi-propinsi di KBI, seperti
Propinsi D.I. Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali untuk pajak kendaraan bermotor;
dan Propinsi D.I. Yogyakarta, Jawa Barat, dan Lampung untuk pajak balik
nama kendaraan bermotor.
Menurut UU Nomor 18 Tahun 1997, yang dimaksud dengan retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Dalam UU tersebut dijelaskan pula pengertian mengenai jasa yang diartikan sebagai kegiatan pemerintah daerah berupa usaha dan pelayanan yang menyebabkan barang, fasilitas, atau kemanfaatan lainnya yang dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Jasa dapat berupa jasa umum yang ditujukan untuk kepentingan umum, dan jasa usaha yang menganut prinsip komersial karena pada dasarnya jasa tersebut dapat disediakan pula oleh sektor swasta. Secara umum, kebijaksanaan memungut bayaran atas barang atau layanan yang disediakan pemerintah berpangkal pada pengertian efisiensi ekonomi.
Untuk mengatur pelaksanaan retribusi di daerah, berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 1997 diterbitkan pula PP Nomor 20 Tahun 1997 tentang Retribusi Daerah. Sama seperti peraturan pajak daerah, pengaturan mengenai retribusi daerah yang telah ada dan terkait dengan peraturan baru ini masih tetap berlaku sebelum dilakukan penyesuaian menurut UU dan PP yang baru. Untuk itu dasar hukum bagi retribusi yang dibahas dalam buku ini masih mengacu kepada
Di dati I, kontribusi retribusi daerah adalah terbesar kedua dalam PAD Tingkat I. Pada tahun anggaran 1997/98, penerimaan dari retribusi seluruh propinsi adalah 14,5 % dari total PAD, dengan penerimaan lebih besar di propinsi-propinsi KBI (82,9 %). Propinsi dengan retribusi terbesar adalah DKI Jakarta (43,0 %). Sedangkan porsi retribusi di propinsi lainnya, termasuk propinsi-propinsi di Jawa, jauh berada di bawah DKI Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya PAD DKI Jakarta ditunjang oleh peranan retribusinya. Sementara propinsi lainnya masih belum bisa mengandalkan retribusi sebagai sumber penerimaan yang potensial.
Bagian laba perusahaan daerah digunakan untuk membiayai pembangunan daerah dan anggaran belanja daerah, setelah dikurangi dengan penyusutan, dan pengurangan lain yang wajar dalam perusahaan. Jenis perusahaan daerah di masing-masing daerah berbeda. Di sebagian daerah, sejumlah perusahaan daerah berasal dari perusahaan asing yang diambil alih pada tahun 1950-an. Perusahaan daerah yang terdapat di seluruh daerah adalah Bank Pembangunan Daerah di dati I dan Perusahaan Daerah Air Minum di dati II. Jenis perusahaan daerah lainnya cukup beragam mencakup seperti antara lain Perusahaan Daerah Pasar, Perusahaan Daerah Aneka Industri, perusahaan daerah yang mengelola sarana hiburan, hotel dan bioskop, dan sebagainya.
Besarnya kontribusi laba perusahaan dalam PAD dapat menjadi indikator kuat atau lemahnya perusahaan daerah suatu propinsi. Propinsi yang memiliki laba perusahaan cukup besar umumnya adalah propinsi dengan APBD tingkat I yang besar pula seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Porsi penerimaan laba perusahaan pada propinsi-propinsi tersebut secara nasional berturut-turut adalah 54,3 %, 5,5 %, dan 4,7 %.
Meningkatnya porsi laba perusahaan DKI Jakarta dibandingkan tahun sebelumnya membuat semakin besarnya perbedaan laba perusahaan propinsi tersebut dengan propinsi lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan perusahaan daerah propinsi-propinsi di luar Jakarta masih belum mendukung penerimaan keuangan daerah. Dalam rangka peningkatan pendapatan dan percepatan pertumbuhan ekonomi daerah-daerah yang relatif kurang mampu perlu dilakukan revitalisasi perusahaan daerah, seperti antara lain memanfaatkan peluang kerjasama dengan pihak ketiga dan melakukan rasionalisasi manajemen perusahaan daerah.
3. Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak
Selain bagi hasil pajak dari PBB, daerah menerima pula bagi hasil bukan pajak yaitu Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) yang diberikan berdasarkan PP No. 22 Tahun 1967, dan Iuran Hasil Hutan (IHH) berdasarkan PP No. 22 Tahun 1967 jo. PP No. 21 Tahun 1980. Penerimaan IHH berdasarkan PP No. 22 ini merupakan bagian penerimaan dati I yang bersumber dari penerimaan IHH secara nasional, berbeda dengan bagian IHH yang bersumber dari kegiatan "perhutanan" yang terkena PBB.
Pada tahun anggaran 1997/98, komponen bagi hasil pajak dan bukan pajak menempati urutan ke tiga sebagai sumber pendapatan daerah, dengan persentase jauh di bawah sumbangan dan bantuan, dan PAD yaitu 8,9 % dari total penerimaan APBD Tingkat I. Persentase ini naik sedikit dari tahun sebelumnya (8,0 %). Seperti tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 1997/98 propinsi yang mendapatkan bagi hasil pajak dan bukan pajak terbesar adalah DKI Jakarta (39,8 %). Besarnya persentase tersebut dibandingkan dengan propinsi lainnya disebabkan karena potensinya yang cukup besar, khusus PBB sektor perkotaan yang merupakan gabungan porsi penerimaan PBB dati I dan dati II.
Propinsi lainnya berada jauh di bawah DKI Jakarta seperti Kalimantan Timur (7,5 %) dari penerimaan APBD, Riau (6,5 %), Irian Jaya (6,4%), dan Jawa Barat (5,2 %). Cukup besarnya persentase di Kalimantan Timur dan Irian Jaya disebabkan karena besarnya bagi hasil dari IHH mengingat luasnya areal hutan di kedua propinsi tersebut. Sedangkan besarnya persentase di Propinsi Riau dan Jawa Barat ditentukan oleh besarnya bagi hasil PBB. Secara kawasan, propinsi-propinsi di KBI mendapatkan bagi hasil pajak lebih besar dari KTI (85,9 %), sedangkan bagi hasil bukan pajak sebagian besar terdapat pada propinsi-propinsi di KTI yaitu 66,1%.
Untuk bagi hasil bukan pajak terjadi hal yang sebaliknya dimana penerimaan yang lebih besar terdapat di propinsi-propinsi KTI (66,1 %). Jika diamati lebih rinci, porsi bagi hasil bukan pajak terbesar tersebut terdapat di propinsi yang memiliki kawasan hutan cukup luas, yaitu Irian Jaya (17,4 %), Kalimantan Timur (15,6 %), dan Kalimantan Tengah (10,0 %). Dengan penerimaan bagi hasil bukan pajak tersebut, propinsi yang bersangkutan dapat menggunakannya untuk prioritas kegiatan-kegiatan yang dapat mempertahankan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan kualitas sumber daya alamnya. Rincian jumlah dan %tase bagi hasil pajak dan bukan pajak serta sebarannya di masing-masing propinsi dapat dilihat pada Tabel 6.
Sebagian besar dari sumbangan (kurang lebih 80%) adalah dalam bentuk subsidi daerah otonom (SDO) yang merupakan perimbangan keuangan dari pemerintah pusat atas pembiayaan gaji dan tunjangan lainnya termasuk tunjangan pangan bagi pegawai negeri sipil di daerah. Subsidi lainnya antara lain adalah subsidi pembiayaan penyelenggaraan sekolah dasar negeri, subsidi biaya operasional rumah sakit daerah, biaya pra jabatan, dan subsidi pembiayaan penyelenggaraan otonomi daerah.
Untuk menunjang pelaksanaan pembangunan yang menjadi tugas pemerintah dati I, kepada dati I diberikan bantuan pembangunan dati I yang dimaksud untuk membiayai berbagai kegiatan pembangunan yang merupakan prioritas daerah serta merupakan tugas dan wewenang pemerintah dati I. Pada tahun anggaran 1997/98, komponen bantuan dati I bertambah delapan komponen baru yaitu 1) bantuan pengembangan wilayah, 2) prasarana fisik pamongpraja, 3) pembinaan masyarakat tertinggal, 4) pengelolaan kawasan lindung, 5) pembinaan seni budaya daerah, 6) pembinaan olah raga, 7) pembinaan kerukunan umat beragama, dan 8) pengembangan dampak lingkungan. Komponen bantuan yang telah ada sebelumnya adalah bantuan umum pembangunan dati I, peningkatan jalan propinsi, reboisasi, pemantauan dan pengawasan, operasi dan pemeliharaan pengairan, dan penataran calon penatar P-4.
Sejalan dengan kebijaksanaan untuk lebih mengarahkan bantuan pembangunan ke KTI, kawasan terisolir dan terpencil lainnya, besarnya bantuan ke KTI pada tahun 1997/98 lebih besar dibandingkan kawasan lainnya yaitu 51,5% dari total bantuan kepada dati I.
Komponen sumbangan dan bantuan dalam pendapatan APBD tingkat I pada tahun anggaran 1997/98 masih menempati urutan pertama yaitu 51,7% dari total penerimaan. Angka tersebut menurun dari tahun sebelumnya yang besarnya 53,5%. Penurunan yang terjadi sejak akhir Repelita V ini menunjukkan bahwa secara perlahan pemerintah daerah mampu mengurangi ketergantungannya kepada pemerintah pusat dalam membiayai pemerintahan dan pembangunan.
Secara nasional, proporsi sumbangan dan bantuan di KBI lebih besar dibandingkan dengan proporsi KTI yaitu 79,4%. Besarnya proporsi sumbangan dan bantuan di KBI ini dipengaruhi oleh besarnya porsi sumbangan yang diberikan ke KBI yaitu sebesar 89,6%, lebih besar dibandingkan tahun lalu sebesar 89,1%.
Berkaitan dengan besarnya jumlah pegawai yang harus dibiayai dan jumlah kabupaten yang juga besar, propinsi-propinsi di Jawa seperti Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat berturut-turut adalah propinsi yang mendapatkan sumbangan terbesar. Sebaran sumbangan di propinsi-propinsi KTI umumnya hampir sama, berkisar antara 0,4%-0,9%, kecuali Kalimantan Tengah sebesar 2,2% dan Sulawesi Tengah 2,4%.
Sedangkan untuk bantuan, porsi terbesar terdapat di Irian Jaya, yaitu sebesar Rp103 miliar atau 6,0% dari total bantuan. Rincian bantuan untuk masing-masing propinsi terdapat pada Tabel 7. Pada tabel tersebut terlihat pula bahwa 5,9 % dari total bantuan terdapat di Propinsi DKI Jakarta. Angka tersebut terlihat besar karena dalam APBD Tingkat I-nya termasuk komponen bantuan Inpres Dati II, mengingat DKI Jakarta tidak memiliki APBD Tingkat II.
Dibandingkan dengan perkiraan jumlah penduduk 1997, sumbangan dan bantuan per kapita pada tahun 1997/98 sumbangan dan bantuan per kapita sedikit naik dari Rp32.656 per kapita pada tahun lalu menjadi Rp34.120 per kapita. Proporsi sumbangan dan bantuan per kapita di KTI lebih besar dibandingkan dengan KBI yaitu Rp37.483. Propinsi yang sumbangan dan bantuan per kapitanya senantiasa terbesar adalah Kalimantan Tengah. Pada tahun 1997/98, besarnya sumbangan dan bantuan per kapita Kalimantan Tengah adalah Rp103,7ribu per kapita, naik sedikit dari tahun lalu sebesar Rp96.649per kapita. Sama dengan tahun sebelumnya, propinsi yang sumbangan dan bantuan per kapitanya terkecil adalah Sulawesi Selatan yaitu sebesar Rp13,1 ribu per kapita. Besarnya perbandingan antara sumbangan dan bantuan per kapita yang terbesar dan terkecil adalah 7,9 : 1. Melihat perbandingan tersebut pada tahun lalu yaitu 7,7 : 1, maka besarnya dana yang diberikan kepada daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan antara kawasan pada tahun anggaran 1997/98 sedikit lebih tidak merata.
Jenis pinjaman yang dikenal di Indonesia selama ini dapat bersumber dari luar negeri, atau sering disebut penerusan pinjaman (subsidiary loan agreement/SLA), dan yang bersumber dari dalam negeri, termasuk yang disebut dengan rekening pembangunan daerah (RPD). Berbagai bentuk pinjaman ini sesungguhnya sangat potensial dalam membantu daerah untuk membiayai pembangunannya. Namun karena persyaratannya cukup berat dan prosedur peminjaman dirasakan rumit, maka belum banyak propinsi yang dapat memanfaatkannya. Pinjaman pemerintah dati I yang digunakan untuk BUMD Tingkat I dapat dilaksanakan setelah disahkan oleh Mendagri.
Pada tahun anggaran 1991/92, propinsi yang memanfaatkan pinjaman hanya 3 propinsi. Mulai tahun anggaran 1992/93 hingga 1995/96, propinsi yang memanfaatkan pinjaman bertambah menjadi 4 propinsi yaitu Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Kalimantan Selatan. Pada tahun 1997/98, Propinsi Sulawesi Selatan juga memanfaatkan dana pinjaman tersebut. Pinjaman terbesar diterima oleh Propinsi DKI Jakarta yaitu Rp52,7 miliar atau 92,8 % dari total pinjaman, lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp78.251. Pinjaman di 4 propinsi tersebut pada umumnya digunakan untuk pembangunan prasarana perkotaan. Rincian jumlah dan persentase pinjaman dapat dilihat pada Tabel 8.
Dalam APBD tingkat I, belanja daerah merupakan rencana pengeluaran dati I selama tahun anggaran yang bersangkutan. Pengeluaran daerah pada prinsipnya bertujuan untuk sebesar-besarnya dimanfaatkan bagi kesejahteraan dan pelayanan masyarakat. Untuk itu, belanja daerah seyogyanya tidak termasuk untuk penyediaan anggaran bagi perayaan-perayaan seperti hari besar dan hari ulang tahun, pesta, pemberian hadiah, tanda mata, dan sebagainya yang tidak bertujuan untuk kesejahteraan dan pelayanan masyarakat luas. Belanja daerah terdiri atas belanja rutin dan belanja pembangunan.
persentase belanja rutin APBD tingkat I tahun anggaran 1997/98 adalah 65,1 % dari total APBD tingkat I seluruh Indonesia (Tabel 9). Hal ini berarti dana yang digunakan untuk belanja pembangunan hanya sebesar 34,9 %. Porsi anggaran baik rutin maupun pembangunan tersebut hampir sama besarnya dengan porsi anggaran belanja tahun lalu. Porsi belanja rutin yang selama Repelita V telah menunjukkan penurunan, pada dua tahun pertama Repelita VI naik kembali. Pada tahun 1996/97 turun sedikit sebesar sekitar 3%. Menurunnya porsi anggaran rutin sampai pada posisi yang lebih seimbang dengan porsi anggaran pembangunan menunjukkan adanya perhatian pemerintah daerah untuk meningkatkan kinerja pembangunannya. Diharapkan pada tahun-tahun mendatang porsi tersebut dapat lebih diseimbangkan, setidaknya dipertahankan.
Pengamatan atas belanja per kapita menunjukkan bahwa besarnya belanja per kapita secara nasional pada tahun anggaran 1997/98 adalah Rp65.961,2 atau meningkat % dari tahun anggaran 1996/97. Hampir sama dengan tahun lalu, propinsi dengan belanja per kapita terbesar berturut-turut adalah DKI Jakarta (Rp338.576), diikuti oleh Kalimantan Tengah (Rp148.340), dan Kalimantan Timur (Rp119.988) yang menggusur Irian Jaya. Irian Jaya sendiri berada pada urutan berikutnya (Rp119.263). Sedangkan yang terkecil adalah Lampung (Rp27.040).
Perbandingan antara belanja per kapita terbesar dengan terkecil, yaitu belanja per kapita DKI Jakarta dengan Lampung, adalah 12,5 : 1. Jika dilihat per kawasan, maka belanja per kapita KBI lebih tinggi daripada KTI. Hal ini terjadi karena besarnya penduduk di KBI adalah 4,3 kali penduduk di KTI, sementara besarnya belanja KBI adalah 4,9 kali belanja KTI. Untuk penyempurnaan kriteria alokasi Bantuan Pembangunan Dati I di masa mendatang, besarnya belanja per kapita yang mengandung pengertian besarnya kemampuan pemerintah daerah dalam melayani masyarakatnya dapat dipertimbangkan menjadi salah satu dasar kriteria alokasi.
Belanja perkapita dapat pula diuraikan atas rutin dan pembangunan. Belanja rutin per kapita terbesar sama dengan tahun sebelumnya yaitu di Propinsi DKI Jakarta (Rp192.455), Kalimantan Tengah (Rp88.000), dan Sulawesi Tengah (Rp72.427). Walaupun belanja rutin per kapita yang termasuk besar tersebut banyak terdapat di propinsi-propinsi KTI, namun secara nasional belanja rutin perkapita di KBI lebih besar daripada KTI. Sebaliknya, belanja pembangunan per kapita di KTI lebih besar daripada di KBI. Sedangkan untuk belanja pembangunan per kapita terbesar adalah di Propinsi DKI Jakarta (Rp146,121), sedangkan propinsi lainnya jauh lebih kecil. Besarnya perbedaan nilai belanja per kapita baik rutin maupun pembangunan menunjukkan besarnya ketidak-merataan persebaran penduduk antar wilayah.
bar chart dari belanja rutin (dibandingkan dengan belanja rutin tahun lalul)
Pada tabel di atas terlihat bahwa sebagian besar belanja rutin digunakan untuk belanja pegawai sebesar 61,9%, sedikit menurun dibandingkan belanja pegawai tahun lalu sebesar %. Komponen belanja rutin lainnya yang juga besar adalah belanja barang, belanja lainnya, dan belanja pemeliharaan. Propinsi-propinsi yang belanja pegawainya besar umumnya adalah propinsi yang struktur kelembagaannya telah lengkap seperti Propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Sementara itu, propinsi yang nilai absolut belanja barang dan pemeliharaan secara mencolok cukup besar adalah DKI Jakarta. Jika dilihat persentasenya dari total belanja rutin, maka Propinsi Maluku mempunyai belanja barang terbesar. Namun hal ini tidak diikuti oleh pemeliharaan karena hanya sebesar 4,3 % dari total belanja rutinnya. Besarnya persentase belanja barang dan pemeliharaan di suatu propinsi dapat menjadi indikator bertambahnya aset pemerintah daerah serta meningkatnya kepedulian akan pemeliharaan aset yang telah ada.
Belanja perjalanan secara nasional hanya sebesar 1,2 % dari total belanja rutin. Namun jika dilihat berdasarkan kawasan, maka propinsi-propinsi di KTI mengeluarkan cukup besar dana untuk biaya perjalanan dinas yaitu 4,4 kali biaya perjalanan dinas propinsi-propinsi di KBI. Hal ini juga menunjukkan kemungkinan bahwa perjalanan dinas aparat pemerintah daerah sebagian besar dilakukan ke Jakarta yang bagi propinsi di KTI memerlukan biaya cukup besar. Rincian jumlah dan persentase belanja rutin masing-masing propinsi dapat dilihat pada Tabel 11.a dan 11.b.
Sejalan dengan semakin luasnya jangkauan dan lingkup pembangunan di daerah, maka besarnya belanja pembangunan dalam total APBD tingkat I senantiasa meningkat. Jika pada awal Repelita V (1989/90) besarnya belanja pembangunan adalah Rp1.042,5 miliar, maka pada akhir Repelita V menjadi sebesar Rp2.523,8 miliar. Selama Repelita V tersebut, laju pertumbuhan rata-rata per tahun belanja pembangunan adalah 24,7 %. Pada awal Repelita VI (1994/95), belanja pembangunan tersebut meningkat menjadi Rp2.759,8 miliar, dan pada tahun ketiga Repelita VI ini meningkat lagi menjadi Rp4.183,5 miliar.
Dalam struktur APBD tingkat I tahun anggaran 1997/98, belanja pembangunan dikelompokkan dalam 22 sektor pembangunan, sebagaimana telah dikemukakan pada bab terdahulu. Gambaran belanja pembangunan per sektor secara nasional terlihat pada grafik di bawah ini.
Grafik belanja pembangunan per sektor
Pada grafik di atas terlihat sektor transportasi masih merupakan penyerap terbesar belanja pembangunan. Penggunaan dana pembangunan untuk sektor transportasi tersebut sebagian besar berada di KTI yaitu 40,3%. Hal ini antara lain karena sebagian besar propinsi di KTI memberikan porsi lebih dari 50 % pada sektor ini, seperti Propinsi Sulawesi Tenggara, Maluku, Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Timur. Beberapa pertimbangan daerah dalam memprioritaskan sektor transportasi antara lain adalah untuk membuka daerah terpencil dan terisolir, memperlancar dan mempercepat transportasi dari daerah produksi ke pemasaran dan konsumen, memperlancar lalu lintas perekonomian, memperlancar urusan pembinaan pemerintahan, dan sebagainya.
Sektor pengguna belanja pembangunan terbesar kedua adalah sektor aparatur pemerintah dan pengawasan. Hal ini sejalan dengan upaya pencapaian sasaran pembangunan daerah sebagaimana ditetapkan dalam Repelita VI, yaitu berkembangnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi dan bertanggung jawab, serta meningkatnya kemandirian dan kemampuan pemerintah daerah. Propinsi yang memberikan porsi cukup besar (lebih dari 20 %) pada sektor ini adalah Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Sumatera Utara, dan Irian Jaya.
Sektor pengguna terbesar ketiga dan keempat dari belanja pembangunan berturut-turut adalah sektor subsidi pembangunan kepada daerah bawahan dan sektor pembangunan daerah dan pemukiman. Hal ini juga sejalan dengan arahan GBHN 1993 untuk mengembangkan daerah dan menyerasikan laju pertumbuhan daerah, antar dan antara kota dan desa, serta antarsektor. Kedua sektor ini bertukar peringkat dibandingkan tahun lalu. Rincian jumlah dan persentase belanja pembangunan masing-masing propinsi dalam Tabel 12.a dan 12.b.
BAB V
KEMAMPUAN DAERAH DALAM MEMBIAYAI BELANJA DAERAH
Indikasi kemampuan daerah dalam membiayai pengeluarannya dalam suatu tahun anggaran, dapat diketahui dari adanya peningkatan PAD. Seyogyanya jika PAD suatu daerah dapat ditingkatkan, maka pada suatu saat daerah tersebut dapat mencukupi belanjanya sendiri, setidaknya untuk belanja rutin. Walaupun kemampuan daerah selama ini masih belum dapat memenuhi kebutuhan belanja rutin, namun dalam beberapa tahun belakangan terdapat indikasi peningkatan kemampuan keuangan daerah di hampir semua propinsi.
persentase perbandingan antara PAD dengan belanja rutin pada tahun anggaran 1997/98 meningkat cukup berarti dari 44,2 % tahun anggaran yang lalu menjadi 51,5 %. Jika pada Repelita V sampai dengan tahun lalu hanya Propinsi DKI Jakarta saja yang memiliki persentase di atas 100 %, maka pada tahun ini persentase Bali meningkat pesat dari 88,2 % menjadi 109,9 %. Demikian pula dengan jumlah propinsi lainnya yang memiliki persentase di atas 60 % semakin bertambah. Pada awal Repelita VI hanya Propinsi DKI Jakarta, Bali dan Sulawesi Selatan, dan pada tahun yang lalu tercatat Sumatera Barat dan Sumatera Selatan memiliki persentase di atas 60 %. Pada tahun ini jumlah tersebut bertambah lagi dengan Propinsi Riau, Jambi, dan Lampung. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan keuangan pemerintah daerah setidaknya untuk membiayai belanja rutinnya semakin meningkat. Namun demikian propinsi yang dapat diartikan benar-benar mampu membiayai belanja rutinnya dari pendapatan asli daerahnya hanya Propinsi DKI Jakarta dan Bali saja. Perbandingan antara PAD dengan belanja rutin masing-masing propinsi dapat dilihat pada Tabel 13.a.
Bagian terbesar dari belanja rutin adalah belanja pegawai. Semakin kuat struktur ekonomi suatu propinsi, semakin lengkap pula struktur organisasi pemerintahan yang diperlukan, dan selanjutnya memerlukan jumlah pegawai yang lebih besar. Dengan demikian, seyogyanya belanja yang dikeluarkan untuk pegawai tidak melebihi kemampuan keuangan daerah.
Dari perbandingan antara pendapatan asli daerah dengan belanja pegawai pada tabel 13.b., terlihat bahwa rata-rata nasional adalah 79,6 %. Namun jika melihat rincian masing-masing propinsi, tercatat 10 propinsi mempunyai angka perbandingan di atas 100 %. Angka tertinggi adalah di Propinsi DKI Jakarta, diikuti berturut-turut oleh Propinsi Bali, Riau, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Melihat besarnya angka perbandingan sampai dengan di atas 300 %, menjadi indikasi belum efisiennya penyelenggaraan pemerintahan di propinsi-propinsi tersebut. Hal ini terjadi antara lain karena jumlah pegawai yang lebih besar dibandingkan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan.
Untuk mengetahui kemampuan daerah yang sesungguhnya dalam membiayai belanja rutinnya, dapat dengan mengurangi belanja pegawai -- yang merupakan subsidi pusat -- dari belanja rutin sehingga didapat belanja operasional. Belanja operasional yang berisi kebutuhan pokok suatu propinsi seperti belanja barang, pemeliharaan, perjalanan dinas, dan sebagainya, seyogyanya dapat dibiayai oleh PAD propinsi yang bersangkutan. Perbandingan antara PAD dengan besarnya belanja operasional, menunjukkan kemampuan nyata suatu propinsi dalam membiayai belanja rutin. Dari Tabel 13.c terlihat propinsi-propinsi yang termasuk kategori mampu membiayai sendiri belanja rutinnya dari PAD (mempunyai persentase perbandingan lebih dari 100 %) yaitu Propinsi Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Bali, Sulawesi Selatan, DI Yogyakarta, Sumatera Selatan dan Lampung. Pada tahun yang lalu, dua propinsi terakhir belum termasuk kategori mampu.
Dari analisis indikator-indikator APBD tingkat I pada pembahasan di muka dapat disimpulkan bahwa propinsi-propinsi tersebut memiliki kemampuan yang lebih besar dari propinsi lainnya dalam membiayai penyelenggaraan pemerintahannya. Sebagian besar propinsi tersebut berada di KBI, hanya satu propinsi yang berada di KTI yaitu Sulawesi Selatan.
Sebaliknya, propinsi yang mempunyai persentase kecil atau kurang dari 50 % berada di KTI, yaitu Propinsi Kalimantan Tengah (40 %) dan Irian Jaya (17,8 %). Rendahnya persentase tersebut cukup memprihatinkan, karena seperti Irian Jaya misalnya, kemampuan keuangan propinsi tersebut tidak sampai seperlima bagian dari kebutuhan operasionalnya. Di sisi lain, terdapat faktor-faktor yang dapat menyebabkan besarnya kebutuhan biaya operasional di kedua propinsi tersebut seperti kondisi geografis berupa wilayah yang cukup luas dan masih banyaknya daerah yang terisolasi.
Sedangkan seluruh propinsi di KTI tercatat mempunyai persentase kecil yaitu di bawah 70 %. Sulawesi Selatan yang termasuk sebagai propinsi yang mampu dalam membiayai belanja rutin, belum menunjukkan peningkatan kemampuan PADnya dalam membiayai belanja pembangunannya. persentase perbandingan Propinsi Sulawesi Selatan yang terbesar di KTI sama dengan tahun lalu yaitu hanya sebesar 68,8 %.
Dari rata-rata persentase perbandingan PAD dengan belanja pembangunan secara nasional menunjukkan adanya sedikit peningkatan yaitu dari 94,3 % menjadi 97,4 %. Angka tersebut masih menunjukkan bahwa daerah masih kurang mampu dalam membiayai belanja pembangunan. Walaupun demikian, persentase tersebut menunjukkan adanya perbaikan dari tahun anggaran yang lalu.
Dari kwadran yang menunjukkan kinerja APBD tingkat I tersebut dapat dilihat pengelompokan propinsi-propinsi sesuai dengan tingkat kinerjanya. Propinsi-propinsi yang terletak pada kuadran I adalah propinsi yang dapat dianggap mampu. Sedangkan pada kuadran II terletak propinsi-propinsi dengan kemampuan menengah, dan pada kuadran III terletak propinsi-propinsi yang dapat dianggap belum mampu dalam membiayai belanja daerahnya. Propinsi-propinsi yang terletak pada kuadran I sama seperti tahun yang lalu yaitu
Pada kuadran dapat dilihat bahwa sebagian besar propinsi telah mempunyai kinerja yang cukup baik, yaitu jumlah APBD tingkat I di atas rata-rata nasional, namun tingkat pertumbuhan rata-rata pertahunnya sebagian besar masih di bawah rata-rata nasional. Terdapat propinsi pada kuadran II tersebut. Sedangkan propinsi terletak pada kudran IV yang menunjukkan kinerja APBD tingkat I yang tidak terlalu baik.
Posisi suatu propinsi pada satu
kuadran juga menunjukkan arti tersendiri yaitu semakin tinggi posisi suatu
propinsi pada kuadran tersebut menunjukkan semakin baiknya kinerja APBD
tingkat I propinsi tersebut. Seperti misalnya posisi Propinsi DKI Jakarta
yang terletak pada posisi tertinggi di kuadran I menunjukkan kinerja APBD
tingkat I yang terbaik. Untuk melihat lebih rinci kinerja dari masing-masing
propinsi dapat dilihat pada kuadran berikut ini.